Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Setelah menamatkan Taman Kanak-kanak
(TK), saya semestinya langsung masuk di Sekolah Dasar (SD). Tapi berbeda yang
terjadi pada diri saya, saya tidak ingin melanjutkan ke SD. Saya yang cenderung
pendiam merasa malu masuk ke SD karena dulu waktu kecil saya agak susah
berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain, apalagi yang baru saya kenal.
Waktu disuruh oleh orang tua untuk berangkat sekolah, saya berontak, menangis
tak karuan, hingga saya mengurung diri di kamar dan mengunci pintu.
Sampai pada suatu hari seorang teman
yang sekaligus tetangga saya menceritakan pengalamannya di sekolah, bahwa ia
diberikan tugas oleh gurunya membuat aneka kerajinan tangan. Pada waktu itu,
teman saya membuat kuali kecil dari tanah liat. Saya yang pada dasarnya
menyukai hal-hal yang berbau seni, akhirnya mau untuk pergi ke sekolah dengan
alasan tersebut.
Besoknya saya langsung diantarkan oleh
Mamak saya ke sekolah yang tidak terlalu jauh dari rumah saya. Dengan memakai
seragam merah putih SD lengkap, saya terlihat sangat pe-de untuk masuk sekolah
dan siap menerima pelajaran dari guru. Namun, saya harus pasrah pada kenyataan
bahwa status saya di sekolah tersebut bukanlah sebagai murid resmi, tetapi
sebagai murid tak dianggap. Bagaimana tidak, saya dimasukkan ke sekolah sudah memasuki
caturwulan ke-2, akibat dari kebodohan saya. Kepala sekolah menolak untuk
memasukkan nama saya ke dalam daftar nama siswa baru pada tahun ajaran
tersebut. Akhirnya dengan alasan adanya pelajaran kesenian di sekolah, saya
tetap pergi ke sekolah seperti murid lainnya. Ditambah lagi dukungan orang tua
saya yang tidak merpersoalkan masalah tersebut, saya antusias mengikuti
pelajaran yang diberikan guru. Apalagi yang diajarkan kesenian, saya sangat
amat senang sekali.
Setiap ada tugas rumah, saya selalu
memperlihatkan kepada orang tua saya, dan mereka selalu membantu saya
mengerjakan tugas tersebut. Seperti siswa lainnya, saya juga mengumpulkan tugas
dan diperiksa oleh guru. Nilai yang saya dapatkan lumayan dan senang sekali
jika mendapatkan nilai yang tinggi, walaupun tidak dimasukkan ke dalam daftar
nilai.
Selama 8 (delapan) bulan saya di kelas
tersebut, saya sudah mengenal dan hafal semua nama-nama teman sekelas saya,
apalagi yang duduk sebangku dengan saya. Sampai pada hari pembagian raport,
semua siswa datang dan antusias untuk menerima laporan hasil atas apa yang
mereka pelajari selama ini. Zaman dulu, mendapatkan rangking 1 sampai 3 adalah
sesuatu hal yang membanggakan bagi seorang murid. Begitu juga dengan
teman-teman saya yang dipanggil nama satu persatu untuk menerima raport.
Ekspresinya wajahnya macam-macam, ada yang sumeringah, dapat dipastikan ia
mendapat rangking yang bagus. Ada juga yang wajahnya manyun, itu artinya ia
mendapatkan rangking tidak bagus atau bahkan tidak ada rangking. Setelah semua
siswa dipanggil menerima raport, tiba saatnya nama saya dipanggil oleh guru
wali kelas. “Iwan...!!!, kamu langsung
pulang ya! Sakitnya tuch di sini....... Saya berlalu dari kelas tersebut
dan langsung pulang ke rumah dengan hati yang lumayan teriris karena tidak
diberikan raport.
Hari berganti hari, bulan berganti
bulan, tiba saatnya hari kenaikan kelas, dimana teman-teman saya naik ke kelas
2 (dua), sedangkan saya harus ikhlas tetap duduk di kelas 1 (satu). Dengan
kejadian ini, ada hikmah yang saya dapatkan. Tetap di kelas 1, artinya saya
mendapat teman-teman yang baru lagi, walaupun teman-teman lama saya
meninggalkan saya untuk menuju tingkat selanjutnya. Dan di sini untuk pertama
kalinya saya menjadi murid yang dianggap. :-D
Saya tidak tahu apakah keadaan saya
akan tetap sama seperti sekarang ini jika dulu saya naik kelas, atau mungkin
akan berbeda. Saya sangat bersyukur sekali dengan kondisi saya sekarang ini,
saya bisa menjadi bagian dari SM-3T yang bukan saja memberi materi kepada
siswa, tetapi bisa bertualang ke penjuru pelosok negeri.
Note : Maaf jika ada kata-kata yang agak lebay dan
mengganggu, maklum masih amatiran
No comments:
Write comments